Eksploitasi Sumberdaya Alam Riau Pada Masa Orba



Kekayaan alam riau menjadi salah-satu daya tarik bagi pemerintahan orba untuk melakukan kontrol politik dan ekonomi terhadap Riau. Selain sumber daya alam yang melimpah, riau juga diuntungkan dengan posisinya yang strategis berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, dua negara handal dibidang ekonomi. Sumber daya alam yang utama adalah minyak bumi. Minyak yang dihasilkan dari bumi Riau, khususnya dari ladang minyak utama yang dikenal dengan block kangguru; Minas, Duri, Bangko, dan Kubu adalah sebesar 835000 bph atau sekitar 300 juta barrel pertahun.1


Sumber daya alam lainnya seperti gas alam terdapat di Natuna. Cadangan gas alam ini diperkirakan mencapai 210 triliun kaki kubik atau dua kali lipat cadangan gas Arun, NAD. Sementara timah telah ditambang sejak 2 abad lamanya pulau Singkep, pulau Kundur, Siabu, Bangkinang, dan Sei Giti, Tandun. Dipulau Singkep yang telah habis dieksploitasi. Saat ini, hanyalah tersisa bekas-bekas galian. Akibat eksploitasi ini, menyisakan penderitaan yang amat memilukan secara sosial ekonomi dan budaya telah membuat penduduk setempat tidak memperoleh harapan akan masa depan pasca penambangan timah tersebut.
Hasil tambang lainnya adalah bauksit yang terdapat dikijang, pulau Bintan yang merupakan satu-satunya tambang bauksit di indonesia. Ditemukan sejak tahun 1935 oleh sebuah perusahaan tambang belanda NV Nibem. Selama 65 tahun beroperasi (1953-2000), bauksit kijang telah menghasilkan 43.151.311 ton dan diekspor keJepang, China, dan Amerika Seikat sebanyak 42.927.910 ton.
Sementara kekayaan alam lainnya berupa emas sepanjang sungai Singingi dan Logas, Indragiri Hulu, dengan luas lokasi 248.284 Hektar. Di riau juga terdapat batubara didaerah Cerenti, Lubuk Jambi, Singingi dan Rokan diperkirakan memiliki deposit jutaan ton dan mampu berproduksi selama 60 tahun. Selain itu, bahan galian golongan c seperti batu granit, pasir darat, pasir bangunan, dan batu kapur sangat banyak depositnya dikepulauan Riau. Khususnya dipulau Karimun. Pasir urug merupakan primadona ekspor ke Singapura.2



Studi Mubyarto dkk. (1933) tentang riau, bahwa ternyata kekayaan alam tersebut tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. Mubyarto mencatat jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan sekitar 13 persen tahun 1990. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tetesan ekonomi minyak bagi masyarakat setempat tidak signifikan. Pendapatan perkpita penduduk tanpa minyak hanyalah 13 persen dari pendapatan termasuk minyak, sehingga karena penghasilan dari minyak bumi ini seluruhnya merupakan penghasilan pemerintah pusat (sebelum diberlakukannya UU No. 25 Tahun 1999 yang efektif berlaku 1 januari 2001, pen.). Maka, boom ekonomi minyak sulit diharapkan berpengaruh besar pada pendapatan masyarakat setempat.
Mubyarto memberi contoh, yakni kenaikan pendapatan perkapita termasuk minyak yang lebih dari 2 kali tahun 1974 hanya diikuti kenaikan 33 persen dalam pendapatan perkapita non-minyak. Alasan lain dari korelasi kecil antara ekonomi minyak dan ekonomi rakyat setempat adalah karena ekonomi minyak masih bersifat enclave. Artinya, ikatan ekonomi warga PT Caltex Pacific Indonesia sebagai perusahaan penambangan minyak bumi terbesar di Riau dengan ekonomi luar (Jakarta atau luar negeri) lebih kuat ketimbang dengan masyarakat setempat.3
Hal ini diperkuat studi Tirtosudarmo (1996) yang membagi ekonomi Riau menjadi tiga kategori.
1. sektor pedesaan atau tradisional dimana lebih dari 60 persen angkatan kerja terlibat dengan pertanian sebagai aktivitas utama.
2. sektor perkotaan atau modern, dimana sekitar 30 persen angkatan kerja terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti perdagangan, pengolahan, dan jasa-jasa.
3. sektor enclave yang terpusat diindustri perminyakan. Walaupun hanya 10 persen dari angkatan kerja terlibat disitu, tetapi lebih dari 75 persen GDRP Riau berasal dari sektor ini.4
Selain minyak, sektor kehutanan di Riau juga menghasilkan devisa yang besar buat negara. Luas hutan Riau adalah sebanyak 9,46 juta Ha yang terdiri dari hutan produksi 3,84 juta Ha (40,59 persen), hutan lindung 0,40 juta Ha (4,20 persen) dan hutan lainnya (suaka alam dan hutan konversi) seluas 5,22 juta Ha (55,21 persen). Dari sekitar 9,46 juta Ha luas hutan di Riau tersebut 7,5 juta Ha dikuasai oleh 71 pemegang HPH.5
Tercatat PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang mulai berproduksi tahun 1989 beroperasi di perawang, Kabupaten Siak dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) beroperasi dipangkalan Kerinci, kabupaten Pelalawan yan dibuka tahun 1992 dengan produksi mencapai 300 ribu ton pertahun dan merupakan pabrik pulp dengan kapasitas produksi terbesar di Asia. Didalam rencana produksi jangka panjang RAPP menargetkan produksi sebesar 750.000 ton pertahun dengan produk utama kertas, tisu, dan bahan-bahan paket yang berasal dari hutan tanaman industri seluas 159.500 Ha.6
Disektor perkebunan, Riau mempunyai perkebunan karet rakyat yang luas arealnya mencapai 508.292 Ha dengan total produksi 237.888 ton pertahun. Namun, perkebunan karet sekarang mulai tergeser oleh perkebunan kelapa sawit yang luas arealnya 670.148 Ha dengan kapasitas produksi 1.294.316 ton tahun 1997. Diperkebunan sawit ini, ada tiga perusahaan besar yang menguasai  perkebunan dan pengolahan crude palm oil (CPO) sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, yakni salim Group, Sinar Mas Group, dan Tirta Mas.7
Meski memiliki sumber daya alam yang begitu banyak, namun potensi ini paradoks dengan kondisi masyarakat lokal. Tingkat kesejahteraan rata-rata pendudu di Riau terutama disepanjang daerah aliran sungai relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain.
1. Bahwa struktur pembangunan ekonomi selama ini dimana sumber daya alam yang dikelola dengan sistem konglomerasi sebagai bidang penyebabnya. PT CPI misalnya sebagai perusahaan pada modal. Akan tetapi, dampak ekonomi minyak kepada masyarakat luas sangat kurang. Sehingga, andil untuk mengembangkan ekonomi daerah juga tidak begitu tinggi.
2. Perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi keuntungan yang didapat perusahaan tersebut, tidak diinvestasi kembali di Riau, tetapi justru ditanam di daerah-daerah lain atau keluar negeri sehingga akumulasi. Modal yang diharapkan tidak terjadi. Hal inilah yang menyebabkan kontribusi ekonomi pada masyarakat lokal rendah, meski tingkat pertumbuhan ekonomi di Riau atas pertumbuhan ekonomi nasional.8

Catatan Kaki :

1Keempat kawasan tersebut masuk dalam kabupaten Bengkalis sebelum pemekaran Oktober 1999. Saat ini, Minas masuk wilayah kabupaten Siak Sri Indrapura, Duri masuk wilayah kabupaten Bengkalis, sementara Bangko dan Kubu masuk wilayah kabupaten Rokan Hilir. Disalah satu ladang minyak bersejarah di Minas, tercatat sejak 1969 mulai beroperasi, hingga tahun 1997 telah mencapai 4 milyar barrel. Tentang uraian ini harap periksa Hikmat Ishak, Op.Cit.,h.27.
2Singingi dan Logas saat ini masuk wilayah kabupaten Kuantan Singingi. Dikawasan kepulauan Riau, ironisnya penambangan pasir laut banyak dinikmati oleh cukong-cukong dari pusat sebagai akibat pemberian kuasa pertambangan secara sentralistik. Akibatnya tanpa memperhatikan ingkungan sekitarnya, banyak pulau yang tenggelam dan berakibat terhadap hasil tangkapan nelayan sekitar. Saat ini, penambangan pasir tersebut telah dihentikan dan menjadi polemik tiada henti apakah penambangan tersebut layak dibuka kembali atau tidak.
3PDRB perkapita provinsi Riau tahun ketika itu sudah mencapai Rp. 4 juta atau $2.000, sama dengan PDB perkapita negara tetangga Malaysia. Tetapi apabila minyak bumi dikeluarkan dari PDRB ternyata nilainya anjlok menjadi Rp. 800.000,- atau $400. Uraian lebih lengkap harap periksa Mubyarto dkk.,1992, Riau Menatap Masa Depan, hasil penelitian P3PK UGM, h. 5-11, unpublished. Rendahnya multiplier effects tersebut juga disebabkan karena bidang pertambangan membutuhkan high-tech, sementara kualitas sumber daya manusia di Riau bukannya tidak diupayakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah melalui Universitas Riau semasa Orde Baru berupaya membuka Fakultas Teknik dengan salah satu jurusan pertambangan untuk memenuhi tenaga kerja lokal agar terserap disektor ini, akan tetapi selalu gagal sebagai akibat sentralisasi. Sebagian cerdik cendekia di Riau berpendapat bahwa hal ini merupakan politik pembodohan yang dijalankan oleh jakarta ketika itu.
4Untuk lebih lengkapnya lihat Riwanto Tirtosudarmo, 1996, Demografi Politik: Pembangunan Indonesia dari Riau sampai Timor-Timur, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, h. 67-68.
5Uraian lebih lengkap tentang hal ini harap periksa Tabrani Rab, 2002, Menuju Riau Berdaulat: Pilihan Kongres Rakyat Riau II, Riau Cultural Institute, Pekanbaru, h. 62.
6Sebenarnya banyak lagi perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan Riau daratan sebagai pemegang HPH. Pemberian HPH oleh pemerintah pusat pada masa lalu justru memunculkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat tentang kepemilikan lahan. Tuntutan mengemuka seiring runtuhnya Orde Baru. Selain itu, dua perusahaan besar tersebut acapkali dituduh sebagai penadah kayu ilegal (illegal logging). Tuduhan ini berdasarkan luas HTI yang dimiliki perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi target maupun realisasi produksi. Areal konsesi kedua perusahaan itu tersebar hampir di merata kabupaten di Riau terutama di kabupaten Kuantan Singingi, Pelalawan, Siak, Kampar, dan Rokan Hulu. Persoalan selalu muncul adalah tumpang tindih kepemilikan lahan dengan masyarakat yang notabene tidak memiliki surat dan ganti rugi pembebasan lahan. Akibat eksploitasi hutan secara besar-besaran di Riau hampir tiap tahun kawasan yang berada disepanjang daerah aliran sungai mengalami banjir yang tidak sedikit menimbulkan korban jiwa dan materi. Tentang hal ini, sebagian masyarakat Riau memplesetkan kepanjangan RAPP menjadi Riau Akan Porak-Poranda. Dipelalawan saat ini hutan nyaris tidak bisa diandalkan sebagai mata pencaharian utama lagi karena telah dikapling-kapling oleh perusahaan besar sehingga kedepan pilihan menjadi buruh tani tidak terelakkan. Ini akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang semakin memburuk karena berkaitan dengan kultur masyarakat setempat yang relatif bergantung hidup pada alam. Uraian lebih lengkap harap periksa Tabrani Rab, Ibid, h. 62. Tentang uraian rencana produksi dan luas lahan lihat leaflet RAPP, 1999.
7Areal perkebunan sawit di Riau saat ini merupakan yang terluas di indonesia. Bisnis CPO ini sangat menjanjikan sehingga PT RAPP pun tergiur dengan mengakuisisi salah satu perusahaan Salim Group, yakni PT Inti Indosawit Utama yang lokasinya berdampingan dengan pabrik pulp and paper. Menurut ahli pertanian, perkebunan sawit yang cenderung terus meluas untuk jangka panjang akan sangat merugikan Riau karena dapat menghilangkan kesuburan tanah. Selain itu, perkebunan monokultur juga sangat riskan sekiranya harga CPO dipasaran dunia anjlok sehingga akan berdampak pada perekonomian masyarakat yang telah menggantungkan hidupnya pada Sub-Sektor ini. Dari keterangan beberapa petani, untuk 1 hektar lahan sawit yang telah produksi penghasilan bersihnya berkisar Rp. 750.000,-hingga Rp. 1 juta/hektar jika harga biji sawit stabil.
8Brigjend. Saleh Djasit merupakan orang Riau pertama yang menjadi gubernur pasca reformasi. Ia dipilih oleh DPRD hasil pemilu 1997. Orang Riau pertama yang menjadi gubernur ketiga setelah Mr.S.M Amin dan Kaharuddin Nasution adalah Brigjend. Arifin Ahmad (1966-1978). Terpilihnya Arifin Ahmad kala itu karena konsensus antara Soeharto dengan mahasiswa Angkatan ’66 dari Riau yang menginginkan putra daerah untuk memimpin Riau. Tentang uraian tersebut lihat Tabrani Rab, Op. Cit, h. 63-64 dan 78-100.
Hery Suryadi “Menggugat Sentralisme Kekuasaan Yang Berlebihan”. Hal 61-68


0 komentar:

Posting Komentar